Jumat, 17 Februari 2012

cerita semasa SMA : bu fatkhiyah


            “Assalamu’alaikum” beliau membuka kelas siang di siang terik. Seualas senyum tersungging di wajahnya. Nur Fatkhiyah hidayati nama guru yang tak pernah lelah memberi sejumput semangat untuk murid-muridnya walaupun ia tahu bahwa kami sudah lelah setelah sekian jam berkutat dengan buka ditambah dengan jam tambahan yang membuat kami luar biasa lelah. namun, dengan semangat yang ia kobarkan. Kami pun ikut terpacu. Hari ini kami belajar tentang cacat dan penyakit menurun yang terangkai dengan autosom. Ia awali dengan penyakit Albino ingatanku melayang-layang jauh menembus awan mengingat terkadang ketika pulang ke rumah di sudut boyolali perbatasan antar boyolali, klaten dan solo dengan naik bus solo-jogja bus yang sopirnya membuat jantungan penumpangnya. Aku sering sekali melirik penampilannya atau mungkin sesuatu yang tidak normal pada laki-laki. Kitidak normalan tersebut ialah karena ia tak berpigmen atau biasa disebut Albino. Bu fath melanjutkan bahwa orang yang tidak mempunyai pigmen kulit jika terkena terik matahri permukaan kulitnya serasa ditusuk-tusuk. Wah berarti kasihan sekali ia batinku.
             Penyakit yang kedua ialah thalasemia pikiranku langsung tertuju pada seorang penulis kenamaan yang telah menerbitkan lebih dari 60 buku yakni, pipiet senja. Penyakit lethal dominan (gen yang dalam keadaan homozigot dapat menimbulakan kematian) ini terbagi dua mayor dan minor. Bahakan bagi penderita thalasemia  mayor dapat mengakibatkan kematian. Walaupun pada penderita minor jika tidak diobati juga mengakibatkan kematian.
            Penyakit- penyakit lainnya ialah,anemi sel sabit, cystinuria (batu ginjal) brachydactily (jari pendek), polidaktili (jari-jari banyak),sindaktili (jari-jari menyatu). Gangguan mental FKU (fenil keton uria), diabetes mellitus.
            Penyakit polidaktili membuatku teringat tetanggaku yang sudah meninggal. Mbah punjul biasa ia disebut nama itu diberikan orang tuanya karena ia memiliki jari-jari yang lebih. Sedangkan saudara-saudaranya juga memiliki nama yang hampir mirip seperti namanya seperti genep karena jumlah jari pada setiap tangan atau kakinya genap. Semoga Allah swt merahmatinya.
            Pada saat menjelaskan tentang gangguan mental FKU aku tergelitik untuk bertanya apakah Autis juga disebabkan oleh cacat dan penyakit yang terangkai dalam autosom. Ia menjawab bahwa tidak ada hubungannya. Zaman dahulu hampir tidak ada anak autis, ia menambahkan. Namun sekarang, banyak anak yang tidak bisa berkomunikasi dua arah atau Autis. Mungkin karena asupan gizi, pada saat kehamilan ibu yang mengandung stress atau mungkin yang lainnya. Wa’allahualam bish showab

Kamis, 16 Februari 2012

Pelangi harapan


saya tulis 3 tahun lalu
“Lalu bagaimana, nduk?” aku mengangkat alis “bagaimana apanya bu?” kuteruskan melahap sarapanku. “itu lamarannya nak faiz?” ‘heg’ aku tersedak sesegera kuseruput tehku. “nduk?” wajahku terlihat pucat pasi. Aku tidak tahu harus memulai darimana. “salwa menolaknya” aku menunduk, akhirnya bendungan yang kupertahankan jebol juga. Akhirnya dipangkuan ibulah air mata itu bebas keluar. Ibu tak bicara banyak, ia menungguku hingga tangisku mereda. Barulah ia mulai angkat bicara lagi. Lebih dari satu jam aku menangis di pangkuannya. Lega sekali setelah menangis. Sesak yang menghimpit beberapa hari lalu sudah reda.
“salwa takut menjadi istri yang tidak bisa membahagiakan faiz bu. setiap bulan salwa mesti kemotherapy, memakan banyak waktu, tenaga, juga biaya. Salwa tidak mau membebani faiz dengan kondisi salwa dan juga salwa tidak tahu apakah salwa masih diberi umur yang panjang oleh Allah atau mungkin Allah hanya memberi tenggang waktu yang sedikit untuk salwa” air mataku tumpah lagi. “pasti Allah memberikan pengganti untuk faiz yang jauh lebih baik daripada salwa bu”
Aku mengambil air wudhu segera kutunaikan sholat dhuha setelah selesai aku bergegas ke rumah sakit untuk check up apakah besok aku siap untuk kemotherapy.
Kutolak tawaran ibu untuk mengantarku. aku tahu ibu berniat baik ia tak ingin terjadi apapun padaku. Pikiranku melayang jauh setahun lalu sebelum aku divonis menderita kanker otak stadium dua. ibu tak pernah mengantarkanku kemanapun. Aku sudah terbiasa kemana-mana sejak kecil. Jadi ibu tak pernah khawatir jika aku pergi sendiri kemanapun. Namun jika aku pulang lewat lebih dari jam lima ia pasti mewanti-wanti untuk menelepon rumah atau ibu pasti menelponku berkali-kali. Namun kini, setiap jam ibu pasti selalu menelepon untuk hal-hal yang sepele. Sudah makan atau belum, minum obat, pusing atau tidak. Lama-lama aku seperti kembali ke masa TK, ketika semua hal yang kulakukan akan selalu dipantau oleh ibuku.
Tak seperti biasanya antrian kali ini panjang sekali. Aku menghela napas panjang. Apakah seluruh hidupku akan kujalani di tempat ini? Dimana semua orang pasti tak ingin membuang seluruh waktunya di tempat dimana bau obat-obatan yang menyengat, ruangan serba putih dan terlebih pasti menu makan yang pasti tidak mengenakkan di lidah. Aku mencoba membiasakan dengan tempat ini. Tapi aku masih optimis bahwa aku pasti sembuh. InsyaAllah sembuh. Aku bertekat dalam hati
”Pasien no urut delapan, nona salwa” aku segera melangkah meninggalkan ruang tunggu dan bergegas melangkah menuju ruangan dr. Priyangka. ”Pagi salwa” dr.Priyangka menyapaku ramah. ”Pagi juga dokter” tiba-tiba saja sakit kepala menderaku lagi. Aku memegangi keningku ”Pusing lagi ya?” aku hanya mengangguk lemah. Dokter Priyangka segera memanggil suster untuk mengecheck seluruh kondisi tubuhku. ”Baiklah sepertinya kamu sudah siap untuk dikemotherapy” dokter Priyangka menyimpulkan. ”Terimakasih dokter” kulangkahkan kaki menuju koridor.
”Wawa..” tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku ketika berada di pelataran parkir. Aku menoleh. ”Nissa?” perempuan berjilab putih itu mengangguk. Sejurus kemudian kamipun berpelukan. Nissa sahabatku ketika SMA, teman sebangku, teman berbagi banyak hal. ”sekarang kamu tambah kecil aja sih” ia membuka percakapan diantara kami. Sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa aku tidak seperti dulu lagi. namun kuurungkan niatku. Aku tidak ingin ada orang yang mengasihaniku. Aku ingin semua orang masih menganggapku seperti salwa yang dahulu. Lincah, cerewet, karateka yang selalu sibuk mengurusi event-event yang diadakan di sekelilingnya.
”Wa, kok malah ngelamun sih?” nissa membuyarkan lamunanku. ”salwa sekarang berubah ya? Lebih feminim, lebih pendiem deh sekarang nggak kayak dulu lagi” aku hanya tersenyum mendengar celotehan sahabat lamaku itu. Aku hanya mengangguk pelan. ”nissa ...” tiba-tiba seseorang memanggil nissa. ”eh aku duluan ya? Nomer telopon kamu masih yang lama kan?” aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan nissa. ”oh ya, kalau mau nyari aku di rumah sakit ini aja aku lagi co-as disini” suara nissa menjauh seiring berlalunya punggungnya.
Serapi-rapinya kita menyimpan bangkai suatu saat pasti akan tercium juga. Ya, lama-kelamaan nissa tahu dengan kondisiku yang sering ’berkunjung’ ke rumah sakit. Akhirnya aku menceritakan pada nissa tentang semuanya. Tentang awal dari penyakitku setahun lalu, tentang penolakan lamaran faiz yang dulu juga teman kami ketika SMA, tentang bagaimana menjalani hari-hari penuh dengan obat. Ia menitikkan air mata mendengar ceritaku. Ia tahu betul bahwa orang seperti faizlah yang selama ini memenuhi kriteriaku.
”wa..” masih dengan mata memerah ia kemudian merangkulku. ”sabar ya? Aku tahu kamu pasti orang yang kuat” tak terasa aku ikut menitikkan air mata pula. ”aku rasa aku memang belum pantas menjadi seorang istri dari alfian faiz …..” nissa melepaskan rangkulannya mencoba menyeka bulir-bulir air yang jatuh di pipinya. “Allah pasti slalu bersama hamba-hambanya yang mau bersabar dengan cobaan yang Allah berikan” nissa melanjutkan. ”aku juga percaya niss, Allah pasti akan memberiku kesembuhan. “niss, tau nggak? Sekarang aku nggak pernah keringatan sperti dulu lho” aku mengganti topik, ”kan udah nggak punya rambut lagi” aku melanjutkan. Akhirnya kami mengakhiri reuni kami dengan seulas sunggingan di wajah kami.
Tiga bulan berselang setelah penolakanku terhadap faiz. Tanpa disengaja aku bertemu dengan faiz dan istrinya yang sedang memeriksakan kandunganya ke rumah sakit tempatku berobat selama ini. ”mbak salwa?” sapa rida sore itu. Aku menoleh, kulihat rida adik kelasku ketika SMA dulu yang sekarang sudah dipersunting faiz berjalan mendekat ke arahku dan menggandeng suaminya. ”assalmu’alaikum rida” kuulurkan tanganku kepadanya, ”wa’alaikum salam mbak salwa” ia membalas salamku. ”sedang ada keperluan apa mbak?” aku mencoba tersenyum ketika melihat tangan mereka bertautan. Allah kuatkan aku, aku terus berdo’a dalam hati agar aku dikuatkan. Luka ini belum sembuh ternyata pikirku. ”ehm ini check up kesehatan aja kok dik” aku tidak bermaksud berbohong, memang aku datang kesini untuk check up persiapan kemotherapyku. ”kamu sendiri?” aku menambahkan. ”oh, ini mau check up kandunganku. Soalnya kata dokter kandunganku lemah” hatiku semakin tersayat mendengar rida. ”maaf kami duluan ya mbak” sejurus kemudian rida berlalu. aku masih terpaku di salah satu ruang tunggu. Entah kenapa kakiku tak bisa beranjak dari tempat itu. Kepalaku terasa pusing lalu semuanya gelap.
Seberkas cahaya menelusup kedalam mata. Perlahan aku mencoba melihat sekelilingku, putih. Aku sedang terbaring rupanya. Kepalaku terasa berat. sesaat kemudian seorang dokter datang. Tak lama setelah dokter berlalu dengan berlinangan air mata ibu masuk ke dalam lengkap memakai baju untuk masuk kedalam icu.
Ibu hanya duduk di sampingku dan mengusap-usap tanganku sembari berdzikir. ”ibu..” panggilku lirih namun aku yakin ibu pasti mendengarnya. ”iya, nak” ibu menjawab. ”kapan aku dipindahkan dari sini” aku sangat merasa tidak nyaman. ”jika kondisimu sudah memungkinkan” aku hanya mengangguk sambil menatap langit-langit rumah sakit.
”assalamu’alaikum salwa” nissa mengunjungi kamarku setelah aku diizinkan untuk pindah dari icu. . ”pagi om” nissa juga menyapa ayahku yang sedang membaca koran disampingku sambil meletakkan buah dilemari. Ayah menutup korannya, ”pagi juga nissa. Sudah sarapan?” ”oh belum om, selah melihat keadaan salwa baru nissa mau ke kantin untuk sarapan”. ”assalamu’alaikum” seorang suster memasuki ruangan. Aku beruntung bahwa aku masuk ke dirawat di umah sakit yang islami sehingga. Seluruh karyawannya berjilbab dan diharuskan mengucapkan salam ketika memasuki ruangan. Nissa dan ayahku sudah mengerti bahwa waktunya aku ’mandi’. ”begini bapak, setelah diseka nona salwa hendak diperiksa oleh dokter. Oleh sebab itu mohon menunggu di luar”. ”ayo om, kita sarapan dahulu” ayah hanya mengangguk tanda persetujuan.
”assalamu’alaikum, selamat pagi” pria berjas putih itu masuk sambil menyunggingkan senyum dan berdiri di samping ranjangku. aku terheran – heran melihatnya. ”anda pasti kaget pagi ini bukan dokter restu yang memeriksa anda” tampaknya ia tahu keterkejutanku. Aku sudah terbiasa dirawat oleh dokter Restu dan dokter Priyangka. ”karena berhubung dokter restu sedang mengikuti seminar di singapura saya yang menggantikan tugasnya sementara waktu. Saya dokter Ahmad” ia menambahkan. ”alhamdulillah, kondisi anda sudah lebih baik mungkin dua atau tiga hari lagi anda sudah bisa pulang ke rumah.” ia berujar setelah memeriksaku. ”terimakasih” jawabku pendek.
Pagi ini aku sudah dapat menghirup wangi mawar didepan rumahku. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena aku masih diberi waktu untuk menjalani sisa-sisa waktu di hidupku dengan indah. tiba-tiba matuku tertumbuk pada sesuatu. Dr. Priyangka berada didepan rumah persis di depan pagar. ”assalamu’alaikum salwa” sapanya seperti biasa. Aku sesgera membukakan pintu pagar. Dibelakangnya mengekor istri dokter priyangka dan dokter ahmad yang selam beberapa hari telah merawatku menggantikan dokter restu.
”maksud kedatangan kami adalah ahmad ingin melamar salwa untuk menjadi istrinya” aku mendengar percakapan antara dokter priyangka dengan ayah dan ibuku. Dadaku bergemuruh hebat saat itu lebih dari ketika faiz melamarku. Ayahku menanggapi dengan santai lalu dilanjutkan dengan obrolan – obrolan ringan yang pada kahirnya berrmuara pada kondisi kesehatanku. ”saya sudah yakin sekali dengan keputusan saya om. Lewat penuturan yang ayah setiap hari tentang salwa, serta ketika saya merawatnya setiap hari saya telah yakin untuk memilih salwa” ahmad yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. ”salwa...” ayah memanggilku. Kuusap airmata yang mengalir sedari tadi, lalu segera berjalan keluar. ”nak bagaimana pendapatmu?” aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk. Aku malu sekali karena tepat berada didepanku adalah ahmad. ”salwa ingin mengajukan satu pertanyaan” aku berusaha membuat suaraku sedatar mungkin, aku luar biasa tegang. ”insyaAllah jika saya mampu saya akan menjawabnya” ahmad yang menjawab. ”seperti yang kamu ketahui salwa sekarang sakit mengapa kamu memilih salwa yang sakit padahal mungkin banyak sekali akhwat yang sehat yang ingin menjadi pendampingmu?” aku bergetar, aku tidak bermaksud apapun aku hanya ingin memastikan apakah ahmad benar-benar ingin menjadi suamiku. Ia menukilkan sebuah hadits tentang keutamaan seorang pria dalam memilih calon istri. ”dan kriterianya ada pada salwa” aku benar-benar tidak menyangka   ia akan menjawab seperti itu. ”bagaimana salwa?”  kini dr. Prinyangka yang menanyakan keputusanku. ”insyaAllah salwa akan berusaha menjadi istri yang baik untuk dr.ahmad” ”sekarang tidak usah memnggil dokter ahmad” dr. Priyangka melanjutkan semua orang tergelak.             

untuk seorang sahabat


‘ukh .aku syg koe .’ kata-kata yang biasa kami lontarkan satu sama lain itu terasa lain kali ini. Ada rasa berbeda ketika aku membacanya, entah itu rindu atau mungkin ada kata lain yang mampu menggambarkannya. Rasanya ada yang hilang, sesuatu yang biasanya sesalu ada disampingmu kini harus berjauhan jarak. lebih dari itu waktu yang biasa kami gunakan bersama kini semua sibuk dengan dunia masing-masing. Rasanya begitu hambar melewati hari. Mungkin karena aku belum menemukan ’tamabatan hati’ lain disini. Kuakui, rasanya sungguh berbeda. Sesak itu begitu meradang, aku benar-benar merindukan mereka. Aku hanya bisa berharap agar ketika kami berkumpul nanti, kami jauh lebih baik. Jauh lebih matang menapaki kehidupan. Teman, apa kau merasakan hal yang sama ?

Tak pernah pudar


Hanya kaulah,
Senyum dalam samarku
Dalam setiap derap lara yang ku tuju
Ku coba warnai dunia dengan sebuah sapa,
Dengan satu kata
Persahabatan
Kita sama tahu
Dalam setiap pertengkaran yang kita tercipta diantara kita
Ada jutaan kasih sayang yang kita lontarkan
Renungkan,
Rentetan waktu yang berhimpit
Terbukalah sebuah celah perpisahan
Yang akhirnya memaksa hati untk mengungkapkan sebuah rasa
Our frienship will never end


   
Mengeja Mimpi


Kini,
Aku tlah tiba di akhir masaku
Masa dimana aku harus meninggalkan warnaku
Masih dengan secawan anganku
Akankah ku rindu belaian seragamku?
Diam dalam angan
Akankah ku dapat segera penggantimu?
Aku masih bertanya pada senja
Masa inikah yang slalu kurindu
Saat aku bercengkrama
Dalam sebuah drama klasikal balutan masa remaja
Aku
Kau
Kita
Sudah sama tahu bahwa inilah masa dimana
Harapan, impian
Berpadu dalam sebuah gelas impian
Jabat erat mimpi kawan,
Karna ia takkan lari
Dari setiap hati yang mau meraihnya

Cinta dalam segelas teh



            Adalah saat- saat yang membahagiakan ketika ada seseorang yang berbahagia karena kita. saat itu adalah ketika saya menyedu teh dan menyajikannya kepada kakek dan nenek saya. Saat ketika selepas isya dan sedang bercengkrama di teras. Melihat senyum terkembang yang tersungging di wajah mereka adalah rasa bahagia yang mengharukan.

            Orang tua kami, terbiasa untuk selalu mendidik kami untuk selalu berbakti kepada orang tua. Meski hal-hal yang kecil, namun bermula dari hal-hal yang kecilah akan mampu menumbuhkan rasa hormat kita kepada orang yang lebih tua. Ngajeni, begitu orang jawa bilang. Tidak hanya menghormati orang yang lebih tua tetapi juga memberikan hal-hal yang sebenarnya ringan, namun akn berarti jika kita mengerjakannya dengan ikhlas.
            Atau jika orang tua kita, saudara, paman, atau yang lainnya berada jauh dari kita. Sebenarnya ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa sayang kita terhadap mereka. dengan telefon atau sms misalanya, hanya untuk sekedar menanyakan kabar, menanyakan hal-hal yang biasa dikerjakan atau menanyakan sudah makan atau belum. Hal-hal kecil yang sering luput dari pengamatan, yang sebenarnya bisa membuat hubungan semakin erat.
            Banyak orang yang beranggapan jika sudah mengirim uang kepada orang tua, maka gugurlah kewajiban mereka berbakti. Berdo’a untuk mereka juga sangat berarti. Atau sering memberikan perhatian kepada orang tualah yang terkadang membuat orang tua kita semakin berbahagia, karena mereka tahu bahwa anak mereka sangan peduli terhadap mereka.