saya tulis 3 tahun lalu
“Lalu bagaimana,
nduk?” aku mengangkat alis “bagaimana apanya bu?” kuteruskan melahap sarapanku.
“itu lamarannya nak faiz?” ‘heg’ aku tersedak sesegera kuseruput tehku. “nduk?”
wajahku terlihat pucat pasi. Aku tidak tahu harus memulai darimana. “salwa
menolaknya” aku menunduk, akhirnya bendungan yang kupertahankan jebol juga.
Akhirnya dipangkuan ibulah air mata itu bebas keluar. Ibu tak bicara banyak, ia
menungguku hingga tangisku mereda. Barulah ia mulai angkat bicara lagi. Lebih
dari satu jam aku menangis di pangkuannya. Lega sekali setelah menangis. Sesak
yang menghimpit beberapa hari lalu sudah reda.
“salwa takut
menjadi istri yang tidak bisa membahagiakan faiz bu. setiap bulan salwa mesti
kemotherapy, memakan banyak waktu, tenaga, juga biaya. Salwa tidak mau
membebani faiz dengan kondisi salwa dan juga salwa tidak tahu apakah salwa
masih diberi umur yang panjang oleh Allah atau mungkin Allah hanya memberi
tenggang waktu yang sedikit untuk salwa” air mataku tumpah lagi. “pasti Allah
memberikan pengganti untuk faiz yang jauh lebih baik daripada salwa bu”
Aku mengambil air
wudhu segera kutunaikan sholat dhuha setelah selesai aku bergegas ke rumah
sakit untuk check up apakah besok aku siap untuk kemotherapy.
Kutolak tawaran
ibu untuk mengantarku. aku tahu ibu berniat baik ia tak ingin terjadi apapun
padaku. Pikiranku melayang jauh setahun lalu sebelum aku divonis menderita
kanker otak stadium dua. ibu tak pernah mengantarkanku kemanapun. Aku sudah
terbiasa kemana-mana sejak kecil. Jadi ibu tak pernah khawatir jika aku pergi
sendiri kemanapun. Namun jika aku pulang lewat lebih dari jam lima ia pasti mewanti-wanti untuk menelepon
rumah atau ibu pasti menelponku berkali-kali. Namun kini, setiap jam ibu pasti
selalu menelepon untuk hal-hal yang sepele. Sudah makan atau belum, minum obat,
pusing atau tidak. Lama-lama aku
seperti kembali ke masa TK, ketika semua hal yang kulakukan akan selalu
dipantau oleh ibuku.
Tak seperti biasanya antrian kali ini panjang
sekali. Aku menghela napas panjang. Apakah seluruh hidupku akan kujalani di
tempat ini? Dimana semua orang pasti tak ingin membuang seluruh waktunya di
tempat dimana bau obat-obatan yang menyengat, ruangan serba putih dan terlebih
pasti menu makan yang pasti tidak mengenakkan di lidah. Aku mencoba membiasakan
dengan tempat ini. Tapi aku masih optimis bahwa aku pasti sembuh. InsyaAllah
sembuh. Aku bertekat dalam hati
”Pasien no urut delapan, nona salwa” aku segera
melangkah meninggalkan ruang tunggu dan bergegas melangkah menuju ruangan dr. Priyangka.
”Pagi salwa” dr.Priyangka menyapaku ramah. ”Pagi juga dokter” tiba-tiba saja
sakit kepala menderaku lagi. Aku memegangi keningku ”Pusing lagi ya?” aku hanya
mengangguk lemah. Dokter Priyangka segera memanggil suster untuk mengecheck
seluruh kondisi tubuhku. ”Baiklah sepertinya kamu sudah siap untuk
dikemotherapy” dokter Priyangka menyimpulkan. ”Terimakasih dokter” kulangkahkan
kaki menuju koridor.
”Wawa..” tiba-tiba aku mendengar seseorang
memanggilku ketika berada di pelataran parkir. Aku menoleh. ”Nissa?” perempuan
berjilab putih itu mengangguk. Sejurus kemudian kamipun berpelukan. Nissa
sahabatku ketika SMA, teman sebangku, teman berbagi banyak hal. ”sekarang kamu
tambah kecil aja sih” ia membuka percakapan diantara kami. Sebenarnya aku ingin
mengatakan bahwa aku tidak seperti dulu lagi. namun kuurungkan niatku. Aku
tidak ingin ada orang yang mengasihaniku. Aku ingin semua orang masih
menganggapku seperti salwa yang dahulu. Lincah, cerewet, karateka yang selalu
sibuk mengurusi event-event yang diadakan di sekelilingnya.
”Wa, kok malah ngelamun sih?” nissa membuyarkan
lamunanku. ”salwa sekarang berubah ya? Lebih feminim, lebih pendiem deh
sekarang nggak kayak dulu lagi” aku hanya tersenyum mendengar celotehan sahabat
lamaku itu. Aku hanya mengangguk pelan. ”nissa ...” tiba-tiba seseorang
memanggil nissa. ”eh aku duluan ya? Nomer telopon kamu masih yang lama kan?”
aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan nissa. ”oh ya, kalau mau nyari aku
di rumah sakit ini aja aku lagi co-as disini” suara nissa menjauh seiring
berlalunya punggungnya.
Serapi-rapinya kita menyimpan bangkai suatu saat
pasti akan tercium juga. Ya, lama-kelamaan nissa tahu dengan kondisiku yang
sering ’berkunjung’ ke rumah sakit. Akhirnya aku menceritakan pada nissa
tentang semuanya. Tentang awal dari penyakitku setahun lalu, tentang penolakan
lamaran faiz yang dulu juga teman kami ketika SMA, tentang bagaimana menjalani
hari-hari penuh dengan obat. Ia menitikkan air mata mendengar ceritaku. Ia tahu
betul bahwa orang seperti faizlah yang selama ini memenuhi kriteriaku.
”wa..” masih dengan mata memerah ia kemudian
merangkulku. ”sabar ya? Aku tahu kamu pasti orang yang kuat” tak terasa aku ikut
menitikkan air mata pula. ”aku rasa aku memang belum pantas menjadi seorang
istri dari alfian faiz …..” nissa melepaskan rangkulannya mencoba menyeka
bulir-bulir air yang jatuh di pipinya. “Allah pasti slalu bersama
hamba-hambanya yang mau bersabar dengan cobaan yang Allah berikan” nissa
melanjutkan. ”aku juga percaya niss, Allah pasti akan memberiku kesembuhan. “niss,
tau nggak? Sekarang aku nggak pernah keringatan sperti dulu lho” aku mengganti
topik, ”kan udah nggak punya rambut lagi” aku melanjutkan. Akhirnya kami
mengakhiri reuni kami dengan seulas sunggingan di wajah kami.
Tiga bulan berselang setelah penolakanku terhadap
faiz. Tanpa disengaja aku bertemu dengan faiz dan istrinya yang sedang
memeriksakan kandunganya ke rumah sakit tempatku berobat selama ini. ”mbak
salwa?” sapa rida sore itu. Aku menoleh, kulihat rida adik kelasku ketika SMA
dulu yang sekarang sudah dipersunting faiz berjalan mendekat ke arahku dan
menggandeng suaminya. ”assalmu’alaikum rida” kuulurkan tanganku kepadanya,
”wa’alaikum salam mbak salwa” ia membalas salamku. ”sedang ada keperluan apa
mbak?” aku mencoba tersenyum ketika melihat tangan mereka bertautan. Allah
kuatkan aku, aku terus berdo’a dalam hati agar aku dikuatkan. Luka ini belum
sembuh ternyata pikirku. ”ehm ini check up kesehatan aja kok dik” aku tidak
bermaksud berbohong, memang aku datang kesini untuk check up persiapan
kemotherapyku. ”kamu sendiri?” aku menambahkan. ”oh, ini mau check up
kandunganku. Soalnya kata dokter kandunganku lemah” hatiku semakin tersayat
mendengar rida. ”maaf kami duluan ya mbak” sejurus kemudian rida berlalu. aku
masih terpaku di salah satu ruang tunggu. Entah kenapa kakiku tak bisa beranjak
dari tempat itu. Kepalaku terasa pusing lalu semuanya gelap.
Seberkas cahaya menelusup kedalam mata. Perlahan aku mencoba melihat sekelilingku,
putih. Aku sedang terbaring
rupanya. Kepalaku terasa berat. sesaat kemudian seorang dokter datang. Tak lama
setelah dokter berlalu dengan berlinangan air mata ibu masuk ke dalam lengkap
memakai baju untuk masuk kedalam icu.
Ibu hanya duduk di sampingku dan mengusap-usap
tanganku sembari berdzikir. ”ibu..” panggilku lirih namun aku yakin ibu pasti
mendengarnya. ”iya, nak” ibu menjawab. ”kapan aku dipindahkan dari sini” aku
sangat merasa tidak nyaman. ”jika kondisimu sudah memungkinkan” aku hanya
mengangguk sambil menatap langit-langit rumah sakit.
”assalamu’alaikum salwa” nissa mengunjungi kamarku
setelah aku diizinkan untuk pindah dari icu. . ”pagi om” nissa juga menyapa
ayahku yang sedang membaca koran disampingku sambil meletakkan buah dilemari.
Ayah menutup korannya, ”pagi juga nissa. Sudah sarapan?” ”oh belum om, selah
melihat keadaan salwa baru nissa mau ke kantin untuk sarapan”.
”assalamu’alaikum” seorang suster memasuki ruangan. Aku beruntung bahwa aku
masuk ke dirawat di umah sakit yang islami sehingga. Seluruh karyawannya
berjilbab dan diharuskan mengucapkan salam ketika memasuki ruangan. Nissa dan
ayahku sudah mengerti bahwa waktunya aku ’mandi’. ”begini bapak, setelah diseka
nona salwa hendak diperiksa oleh dokter. Oleh sebab itu mohon menunggu di
luar”. ”ayo om, kita sarapan dahulu” ayah hanya mengangguk tanda persetujuan.
”assalamu’alaikum, selamat pagi” pria berjas putih
itu masuk sambil menyunggingkan senyum dan berdiri di samping ranjangku. aku
terheran – heran melihatnya. ”anda pasti kaget pagi ini bukan dokter restu yang
memeriksa anda” tampaknya ia tahu keterkejutanku. Aku sudah terbiasa dirawat
oleh dokter Restu dan dokter Priyangka. ”karena berhubung dokter restu sedang
mengikuti seminar di singapura saya yang menggantikan tugasnya sementara waktu.
Saya dokter Ahmad” ia menambahkan. ”alhamdulillah, kondisi anda sudah lebih
baik mungkin dua atau tiga hari lagi anda sudah bisa pulang ke rumah.” ia
berujar setelah memeriksaku. ”terimakasih” jawabku pendek.
Pagi ini aku sudah dapat menghirup wangi mawar
didepan rumahku. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena aku masih diberi
waktu untuk menjalani sisa-sisa waktu di hidupku dengan indah. tiba-tiba matuku
tertumbuk pada sesuatu. Dr. Priyangka berada didepan rumah persis di depan
pagar. ”assalamu’alaikum salwa” sapanya seperti biasa. Aku sesgera membukakan
pintu pagar. Dibelakangnya mengekor istri dokter priyangka dan dokter ahmad
yang selam beberapa hari telah merawatku menggantikan dokter restu.
”maksud kedatangan kami adalah ahmad ingin melamar salwa untuk menjadi
istrinya” aku mendengar percakapan antara dokter priyangka dengan ayah dan
ibuku. Dadaku bergemuruh hebat saat itu lebih dari ketika faiz melamarku.
Ayahku menanggapi dengan santai lalu dilanjutkan dengan obrolan – obrolan
ringan yang pada kahirnya berrmuara pada kondisi kesehatanku. ”saya sudah yakin
sekali dengan keputusan saya om. Lewat penuturan yang ayah setiap hari tentang
salwa, serta ketika saya merawatnya setiap hari saya telah yakin untuk memilih
salwa” ahmad yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. ”salwa...” ayah
memanggilku. Kuusap airmata yang mengalir sedari tadi, lalu segera berjalan
keluar. ”nak bagaimana pendapatmu?” aku mengangkat wajahku yang sedari tadi
tertunduk. Aku malu sekali karena tepat berada didepanku adalah ahmad. ”salwa
ingin mengajukan satu pertanyaan” aku berusaha membuat suaraku sedatar mungkin,
aku luar biasa tegang. ”insyaAllah jika saya mampu saya akan menjawabnya” ahmad
yang menjawab. ”seperti yang kamu ketahui salwa sekarang sakit mengapa kamu
memilih salwa yang sakit padahal mungkin banyak sekali akhwat yang sehat yang
ingin menjadi pendampingmu?” aku bergetar, aku tidak bermaksud apapun aku hanya
ingin memastikan apakah ahmad benar-benar ingin menjadi suamiku. Ia menukilkan
sebuah hadits tentang keutamaan seorang pria dalam memilih calon istri. ”dan
kriterianya ada pada salwa” aku benar-benar tidak menyangka ia akan menjawab seperti itu. ”bagaimana
salwa?” kini dr. Prinyangka yang
menanyakan keputusanku. ”insyaAllah salwa akan berusaha menjadi istri yang baik
untuk dr.ahmad” ”sekarang tidak usah memnggil dokter ahmad” dr. Priyangka
melanjutkan semua orang tergelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar