Kamis, 16 Februari 2012

Pelangi harapan


saya tulis 3 tahun lalu
“Lalu bagaimana, nduk?” aku mengangkat alis “bagaimana apanya bu?” kuteruskan melahap sarapanku. “itu lamarannya nak faiz?” ‘heg’ aku tersedak sesegera kuseruput tehku. “nduk?” wajahku terlihat pucat pasi. Aku tidak tahu harus memulai darimana. “salwa menolaknya” aku menunduk, akhirnya bendungan yang kupertahankan jebol juga. Akhirnya dipangkuan ibulah air mata itu bebas keluar. Ibu tak bicara banyak, ia menungguku hingga tangisku mereda. Barulah ia mulai angkat bicara lagi. Lebih dari satu jam aku menangis di pangkuannya. Lega sekali setelah menangis. Sesak yang menghimpit beberapa hari lalu sudah reda.
“salwa takut menjadi istri yang tidak bisa membahagiakan faiz bu. setiap bulan salwa mesti kemotherapy, memakan banyak waktu, tenaga, juga biaya. Salwa tidak mau membebani faiz dengan kondisi salwa dan juga salwa tidak tahu apakah salwa masih diberi umur yang panjang oleh Allah atau mungkin Allah hanya memberi tenggang waktu yang sedikit untuk salwa” air mataku tumpah lagi. “pasti Allah memberikan pengganti untuk faiz yang jauh lebih baik daripada salwa bu”
Aku mengambil air wudhu segera kutunaikan sholat dhuha setelah selesai aku bergegas ke rumah sakit untuk check up apakah besok aku siap untuk kemotherapy.
Kutolak tawaran ibu untuk mengantarku. aku tahu ibu berniat baik ia tak ingin terjadi apapun padaku. Pikiranku melayang jauh setahun lalu sebelum aku divonis menderita kanker otak stadium dua. ibu tak pernah mengantarkanku kemanapun. Aku sudah terbiasa kemana-mana sejak kecil. Jadi ibu tak pernah khawatir jika aku pergi sendiri kemanapun. Namun jika aku pulang lewat lebih dari jam lima ia pasti mewanti-wanti untuk menelepon rumah atau ibu pasti menelponku berkali-kali. Namun kini, setiap jam ibu pasti selalu menelepon untuk hal-hal yang sepele. Sudah makan atau belum, minum obat, pusing atau tidak. Lama-lama aku seperti kembali ke masa TK, ketika semua hal yang kulakukan akan selalu dipantau oleh ibuku.
Tak seperti biasanya antrian kali ini panjang sekali. Aku menghela napas panjang. Apakah seluruh hidupku akan kujalani di tempat ini? Dimana semua orang pasti tak ingin membuang seluruh waktunya di tempat dimana bau obat-obatan yang menyengat, ruangan serba putih dan terlebih pasti menu makan yang pasti tidak mengenakkan di lidah. Aku mencoba membiasakan dengan tempat ini. Tapi aku masih optimis bahwa aku pasti sembuh. InsyaAllah sembuh. Aku bertekat dalam hati
”Pasien no urut delapan, nona salwa” aku segera melangkah meninggalkan ruang tunggu dan bergegas melangkah menuju ruangan dr. Priyangka. ”Pagi salwa” dr.Priyangka menyapaku ramah. ”Pagi juga dokter” tiba-tiba saja sakit kepala menderaku lagi. Aku memegangi keningku ”Pusing lagi ya?” aku hanya mengangguk lemah. Dokter Priyangka segera memanggil suster untuk mengecheck seluruh kondisi tubuhku. ”Baiklah sepertinya kamu sudah siap untuk dikemotherapy” dokter Priyangka menyimpulkan. ”Terimakasih dokter” kulangkahkan kaki menuju koridor.
”Wawa..” tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku ketika berada di pelataran parkir. Aku menoleh. ”Nissa?” perempuan berjilab putih itu mengangguk. Sejurus kemudian kamipun berpelukan. Nissa sahabatku ketika SMA, teman sebangku, teman berbagi banyak hal. ”sekarang kamu tambah kecil aja sih” ia membuka percakapan diantara kami. Sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa aku tidak seperti dulu lagi. namun kuurungkan niatku. Aku tidak ingin ada orang yang mengasihaniku. Aku ingin semua orang masih menganggapku seperti salwa yang dahulu. Lincah, cerewet, karateka yang selalu sibuk mengurusi event-event yang diadakan di sekelilingnya.
”Wa, kok malah ngelamun sih?” nissa membuyarkan lamunanku. ”salwa sekarang berubah ya? Lebih feminim, lebih pendiem deh sekarang nggak kayak dulu lagi” aku hanya tersenyum mendengar celotehan sahabat lamaku itu. Aku hanya mengangguk pelan. ”nissa ...” tiba-tiba seseorang memanggil nissa. ”eh aku duluan ya? Nomer telopon kamu masih yang lama kan?” aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan nissa. ”oh ya, kalau mau nyari aku di rumah sakit ini aja aku lagi co-as disini” suara nissa menjauh seiring berlalunya punggungnya.
Serapi-rapinya kita menyimpan bangkai suatu saat pasti akan tercium juga. Ya, lama-kelamaan nissa tahu dengan kondisiku yang sering ’berkunjung’ ke rumah sakit. Akhirnya aku menceritakan pada nissa tentang semuanya. Tentang awal dari penyakitku setahun lalu, tentang penolakan lamaran faiz yang dulu juga teman kami ketika SMA, tentang bagaimana menjalani hari-hari penuh dengan obat. Ia menitikkan air mata mendengar ceritaku. Ia tahu betul bahwa orang seperti faizlah yang selama ini memenuhi kriteriaku.
”wa..” masih dengan mata memerah ia kemudian merangkulku. ”sabar ya? Aku tahu kamu pasti orang yang kuat” tak terasa aku ikut menitikkan air mata pula. ”aku rasa aku memang belum pantas menjadi seorang istri dari alfian faiz …..” nissa melepaskan rangkulannya mencoba menyeka bulir-bulir air yang jatuh di pipinya. “Allah pasti slalu bersama hamba-hambanya yang mau bersabar dengan cobaan yang Allah berikan” nissa melanjutkan. ”aku juga percaya niss, Allah pasti akan memberiku kesembuhan. “niss, tau nggak? Sekarang aku nggak pernah keringatan sperti dulu lho” aku mengganti topik, ”kan udah nggak punya rambut lagi” aku melanjutkan. Akhirnya kami mengakhiri reuni kami dengan seulas sunggingan di wajah kami.
Tiga bulan berselang setelah penolakanku terhadap faiz. Tanpa disengaja aku bertemu dengan faiz dan istrinya yang sedang memeriksakan kandunganya ke rumah sakit tempatku berobat selama ini. ”mbak salwa?” sapa rida sore itu. Aku menoleh, kulihat rida adik kelasku ketika SMA dulu yang sekarang sudah dipersunting faiz berjalan mendekat ke arahku dan menggandeng suaminya. ”assalmu’alaikum rida” kuulurkan tanganku kepadanya, ”wa’alaikum salam mbak salwa” ia membalas salamku. ”sedang ada keperluan apa mbak?” aku mencoba tersenyum ketika melihat tangan mereka bertautan. Allah kuatkan aku, aku terus berdo’a dalam hati agar aku dikuatkan. Luka ini belum sembuh ternyata pikirku. ”ehm ini check up kesehatan aja kok dik” aku tidak bermaksud berbohong, memang aku datang kesini untuk check up persiapan kemotherapyku. ”kamu sendiri?” aku menambahkan. ”oh, ini mau check up kandunganku. Soalnya kata dokter kandunganku lemah” hatiku semakin tersayat mendengar rida. ”maaf kami duluan ya mbak” sejurus kemudian rida berlalu. aku masih terpaku di salah satu ruang tunggu. Entah kenapa kakiku tak bisa beranjak dari tempat itu. Kepalaku terasa pusing lalu semuanya gelap.
Seberkas cahaya menelusup kedalam mata. Perlahan aku mencoba melihat sekelilingku, putih. Aku sedang terbaring rupanya. Kepalaku terasa berat. sesaat kemudian seorang dokter datang. Tak lama setelah dokter berlalu dengan berlinangan air mata ibu masuk ke dalam lengkap memakai baju untuk masuk kedalam icu.
Ibu hanya duduk di sampingku dan mengusap-usap tanganku sembari berdzikir. ”ibu..” panggilku lirih namun aku yakin ibu pasti mendengarnya. ”iya, nak” ibu menjawab. ”kapan aku dipindahkan dari sini” aku sangat merasa tidak nyaman. ”jika kondisimu sudah memungkinkan” aku hanya mengangguk sambil menatap langit-langit rumah sakit.
”assalamu’alaikum salwa” nissa mengunjungi kamarku setelah aku diizinkan untuk pindah dari icu. . ”pagi om” nissa juga menyapa ayahku yang sedang membaca koran disampingku sambil meletakkan buah dilemari. Ayah menutup korannya, ”pagi juga nissa. Sudah sarapan?” ”oh belum om, selah melihat keadaan salwa baru nissa mau ke kantin untuk sarapan”. ”assalamu’alaikum” seorang suster memasuki ruangan. Aku beruntung bahwa aku masuk ke dirawat di umah sakit yang islami sehingga. Seluruh karyawannya berjilbab dan diharuskan mengucapkan salam ketika memasuki ruangan. Nissa dan ayahku sudah mengerti bahwa waktunya aku ’mandi’. ”begini bapak, setelah diseka nona salwa hendak diperiksa oleh dokter. Oleh sebab itu mohon menunggu di luar”. ”ayo om, kita sarapan dahulu” ayah hanya mengangguk tanda persetujuan.
”assalamu’alaikum, selamat pagi” pria berjas putih itu masuk sambil menyunggingkan senyum dan berdiri di samping ranjangku. aku terheran – heran melihatnya. ”anda pasti kaget pagi ini bukan dokter restu yang memeriksa anda” tampaknya ia tahu keterkejutanku. Aku sudah terbiasa dirawat oleh dokter Restu dan dokter Priyangka. ”karena berhubung dokter restu sedang mengikuti seminar di singapura saya yang menggantikan tugasnya sementara waktu. Saya dokter Ahmad” ia menambahkan. ”alhamdulillah, kondisi anda sudah lebih baik mungkin dua atau tiga hari lagi anda sudah bisa pulang ke rumah.” ia berujar setelah memeriksaku. ”terimakasih” jawabku pendek.
Pagi ini aku sudah dapat menghirup wangi mawar didepan rumahku. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena aku masih diberi waktu untuk menjalani sisa-sisa waktu di hidupku dengan indah. tiba-tiba matuku tertumbuk pada sesuatu. Dr. Priyangka berada didepan rumah persis di depan pagar. ”assalamu’alaikum salwa” sapanya seperti biasa. Aku sesgera membukakan pintu pagar. Dibelakangnya mengekor istri dokter priyangka dan dokter ahmad yang selam beberapa hari telah merawatku menggantikan dokter restu.
”maksud kedatangan kami adalah ahmad ingin melamar salwa untuk menjadi istrinya” aku mendengar percakapan antara dokter priyangka dengan ayah dan ibuku. Dadaku bergemuruh hebat saat itu lebih dari ketika faiz melamarku. Ayahku menanggapi dengan santai lalu dilanjutkan dengan obrolan – obrolan ringan yang pada kahirnya berrmuara pada kondisi kesehatanku. ”saya sudah yakin sekali dengan keputusan saya om. Lewat penuturan yang ayah setiap hari tentang salwa, serta ketika saya merawatnya setiap hari saya telah yakin untuk memilih salwa” ahmad yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. ”salwa...” ayah memanggilku. Kuusap airmata yang mengalir sedari tadi, lalu segera berjalan keluar. ”nak bagaimana pendapatmu?” aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk. Aku malu sekali karena tepat berada didepanku adalah ahmad. ”salwa ingin mengajukan satu pertanyaan” aku berusaha membuat suaraku sedatar mungkin, aku luar biasa tegang. ”insyaAllah jika saya mampu saya akan menjawabnya” ahmad yang menjawab. ”seperti yang kamu ketahui salwa sekarang sakit mengapa kamu memilih salwa yang sakit padahal mungkin banyak sekali akhwat yang sehat yang ingin menjadi pendampingmu?” aku bergetar, aku tidak bermaksud apapun aku hanya ingin memastikan apakah ahmad benar-benar ingin menjadi suamiku. Ia menukilkan sebuah hadits tentang keutamaan seorang pria dalam memilih calon istri. ”dan kriterianya ada pada salwa” aku benar-benar tidak menyangka   ia akan menjawab seperti itu. ”bagaimana salwa?”  kini dr. Prinyangka yang menanyakan keputusanku. ”insyaAllah salwa akan berusaha menjadi istri yang baik untuk dr.ahmad” ”sekarang tidak usah memnggil dokter ahmad” dr. Priyangka melanjutkan semua orang tergelak.             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar